Sumbawa Barat – Ketua LSM Forum Masyarakat untuk Transparansi (FORMAT) Kabupaten Sumbawa Barat, Joni Saputra, SH, menyesalkan sekaligus mengecam keras penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) milik perusahaan asing di kawasan sumber mata air Blok Ai Linung, Desa Beru, Kecamatan Jereweh. Menurutnya, kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa Barat tersebut merupakan bentuk privatisasi sumber daya air yang seharusnya dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Dalam keterangan resminya, Jum’at (14/11/2025). Joni menegaskan bahwa sumber mata air yang selama lebih dari dua dekade digunakan warga Jelengah sebagai sumber air bersih justru kini masuk dalam peta HGB milik PT Long Happy Life. “Ini bentuk kejahatan yang terstruktur. Negara sangat jelas melindungi sumber daya air sebagaimana diatur Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Bagaimana mungkin kawasan mata air yang merupakan kebutuhan vital masyarakat justru diberikan kepada pihak asing?” tegasnya.
Joni menjelaskan, pemanfaatan air bersih dari mata air Ai Linung sudah berlangsung sejak tahun 2000 hingga akhir 2024. Namun akses air warga terputus akibat proyek pembangunan jalan hotmix pada penghujung 2024. Warga kaget ketika mengetahui bahwa kawasan yang selama ini menjadi sumber penghidupan itu telah berubah status menjadi HGB perusahaan asing. “Pertanyaannya sederhana: sejak kapan kawasan lindung ini berubah status? Masyarakat tidak pernah tahu, tidak pernah ada sosialisasi, dan tiba-tiba wilayah itu tercatat sebagai HGB. Ini ada apa?” ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi di lapangan semakin memperkuat dugaan bahwa penerbitan HGB tersebut tidak melalui kajian yang benar. Kawasan Ai Linung hingga saat ini masih berupa hutan belantara tanpa aktivitas pembukaan lahan oleh warga. “Silakan cek di lapangan. Tidak ada bekas garapan, tidak ada bukti tanah itu pernah dimiliki atau dikelola warga. Pada 2015 statusnya masih tanah negara. Mengapa sekarang tiba-tiba ada pemilik, dan pemiliknya justru perusahaan asing?” kata Joni.
FORMAT KSB mempertanyakan kesesuaian penerbitan HGB tersebut dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumbawa Barat. Menurut Joni, jika lokasi mata air berada pada kawasan lindung atau memiliki fungsi konservasi, maka penerbitan HGB tidak dapat dilakukan tanpa kajian ketat dan persetujuan lintas instansi. “Penerbitan HGB terkait erat dengan tata ruang. Jika kawasan itu adalah wilayah lindung, maka pembangunan atau kepemilikan HGB jelas melanggar. Apalagi kami melihat langsung ada papan informasi dari Dinas Lingkungan Hidup yang menandai lokasi itu sebagai kawasan dilindungi,” tambahnya.
Joni juga menyoroti potensi pelanggaran prosedur administrasi oleh BPN Sumbawa Barat. Ia mempertanyakan apakah BPN telah memperoleh persetujuan teknis dari kementerian terkait seperti ESDM, KLHK, dan PUPR, sebagaimana menjadi syarat wajib sebelum penerbitan HGB. “Kami ingin tahu, apakah BPN pernah mengirim surat permohonan kajian kepada dinas teknis? Jika tidak, berarti proses ini cacat administrasi dan melanggar hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan mewajibkan adanya AMDAL atau UKL/UPL untuk setiap aktivitas yang dapat berdampak pada kelestarian sumber mata air. Mengingat lokasi Ai Linung merupakan kawasan konservasi, maka penerbitan HGB tanpa kajian lingkungan merupakan pelanggaran berat. “Sumber mata air adalah kawasan yang dilindungi. Regulasi melarang pembangunan yang dapat merusak fungsinya. BPN tidak bisa menerbitkan HGB di area seperti ini tanpa analisis dampak lingkungan,” ujarnya.
FORMAT KSB juga menyinggung ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2024. Kedua aturan tersebut mengatur bahwa pengusahaan sumber daya air oleh swasta hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi serta harus mendapatkan persetujuan bupati. “Kami ingin tahu, apakah ada persetujuan Bupati Sumbawa Barat sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 3 Ayat 4 huruf c Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2024? Jika tidak, maka HGB ini jelas melanggar hukum,” tegas Joni.
Ia menambahkan bahwa pemerintah daerah, terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerjaan Umum bidang tata ruang, harus menjelaskan kepada publik mengenai proses dan persetujuan apa saja yang telah diberikan. “Kami mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah menjalankan fungsi kontrolnya. Ada atau tidak permohonan HGB dari pihak asing itu diproses melalui mekanisme kajian di daerah? Ini wajib dijawab,” katanya.
Mengakhiri pernyataan, Joni menegaskan bahwa FORMAT KSB akan terus mengawal kasus ini dan siap membawa persoalan tersebut ke ranah hukum bila ditemukan indikasi pelanggaran yang merugikan hak masyarakat. “Kami tidak akan tinggal diam. Sumber mata air adalah hak hidup masyarakat. Tidak boleh diprivatisasi, apalagi oleh pihak asing. Negara harus hadir dan menegakkan aturan,” pungkasnya. (Hen).
.png)

